Seputar zakat

Fiqhuz-Zakat (2): Zakat Pertanian

Harta Zakat

Ada beberapa pendekatan dalam menentukan macam-macam harta yang wajib dizakati, yakni pendekatan iqor (harta tidak bergerak) dan manqul (harta bergerak). Atau dengan pendekatan alkhorij( zakat dari hasil yang dicapai) dan ro’sul maal(zakat atas modal).Saya menggunakan pendekatan yang kedua yaitu pendekatan alkhorij dan ro’sulmaal.
Zakat atas`hasil yang dicapai (alkhorij)
Zakat atas hasil yang dicapai berbeda dengan zakat atas modal dalam hal pembayarannya. Harta yang wajib dizakati berdasarkan hasil yang dicapai, penunaian zakatnya segera setelah didapat hasilnya tanpa terikat dengan syarat haul. Harta yang termasuk dalam kategori ini mengikuti Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali adalah:

1. Zakat atas hasil pertanian
Yakni, semua tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis, seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, rumput-rumputan, dan lain-lain. Demikian menurut pendapat Madzhab Hanafi.

Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i, yang termasuk dalam golongan hasil pertanian hanyalah terbatas pada hasil pertanian yang dapat digunakan sebagai makanan pokok, seperti padi, gandum, kedelai, jagung, kacang, dan lain-lain, serta buah kurma dan anggur.

Semua hasil pertanian tersebut harus dikeluarkan segera zakatnya setiap kali musim panen apabila hasil panen sudah mencapai nishob (Lihat tabel nishob). Namun menurut Madzhab Hanafi berapapun yang dihasilkan dari hasil pertanian tersebut harus dikeluarkan zakatnya 10%, tanpa disyaratkan mencapai jumlah tertentu (nishob).

Dalam madzhab Syafi’i, lahan pertanian yang produksi dalam satu tahun, hitungan nishobnya menggunakan cara akumulasi dari beberapa hasil panen dalam satu tahun.

Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila menggunakan pengairan secara alami seperti, air hujan, sungai, mata air, adalah 10%. Sedangkan yang menggunakan alat-alat tertentu, sekira air tidak dapat menjangkau pada lahan pertanian kecuali dengan alat tersebut, maka kadar zakatnya adalah 5%.
Adapun biaya-biaya yang dikeluarkan selain untuk alat pengairan tersebut diatas, seperti pupuk, obat-obatan, upah petugas irigasi (ulu-ulu=jawa), dan lain-lain, tidak dapat berpengaruh pada kadar zakat yang harus dikeluarkan, meskipun ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.

Contoh 1:
Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai, di tanami padi. Hasil panen yang di capai adalah 1500 kg . Zakat yang harus di keluarkan adalah: 10 % x 1500 kg = 150 kg.

Jika pengairannya menggunakan peralatan tertentu sekira air tidak dapat menjang kau tanpanya, maka zakatnya adalah : 5 % x 1500 kg = 75 kg.
Nishob gabah kering hasil konversi K.H.Muhammad Ma’shum bin ‘Ali adalah 1323,132 kg atau 815,758 kg beras putih.

Contoh 2:
Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai ditanami padi.
pada lahan a hasil panen yang diperoleh adalah 500 kg.
Pada lahan b hasil panen yang diperoleh adalah 300 kg.
Pada lahan c hasil panen yang diperoleh adalah 500 kg.
Pada lahan d hasil panen yang diperoleh adalah 400 kg
Jumlah 1700 kg.
Zakat yang harus di keluarkan adalah : 10 % x 1700 kg = 170 kg.

Menurut Madzhab Hanafi zakat pertanian juga dapat ditunaikan dalam bentuk uang setara dengan nilai hasil pertanian yang harus di keluarkan, bukan 10 % dari harga jual.
Contoh :

Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai di tanami padi, menghasilkan panen 1500 kg, laku terjual Rp 1.400.000. Harga pasar per 100 kg
Rp 100.000.

Zakat yang semestinya di keluarkan adalah 150 kg, (= 10 % x 1500 kg).
Dapat juga di tunaikan Rp 150.000. (harga pasar 150 kg)


Kalkulator Zakat Profesi (versi BAZNAZ)
Kalkulator Zakat Profesi
Sistem Penghitungan Bulanan (versi Baznaz)
No. Uraian Jumlah Satuan Jumlah
1. Total gaji pokok bulanan
Total pemasukan tambahan (tunjangan, bonus, lembur, dll)
Total Pemasukan
2. Angsuran Hutang Bulanan
Pengeluaran lain seperti pajak
Total Pengeluaran
Wi'a (total 1 - total 2)
Harga Beras/gandum per kg.
Sistem penghitungan nisab zakat profesi yang dijadikan pedoman oleh BAZNAS adalah senilai harga 524 kg beras, dengan dalil diqiyaskan kepada nisab pertanian sebesar 652kg gabah. Sedangkan pengeluaran zakatnya diqiyaskan dengan emas dan perak sebesar 2,5%.
Zakat yang harus dikeluarkan
= wi'a' x 2.5%

Contoh Tabel Zakat Profesi
No. Uraian Jumlah Satuan Jumlah
1. Total gaji pokok bulanan 45.000.000
Total pemasukan tambahan (tunjangan, bonus, lembur, dll) 5.000.000
Total Pemasukan 50.000.000
2. Angsuran Hutang Bulanan 12.000.000
Pengeluaran lain seperti pajak 4.000.000
Pelunasan kredit berjangka 10.000.000
Total Pengeluaran 26.000.000
Wi'a' (total 1 - total 2) 24.000.000
Sistem penghitungan nisab zakat profesi yang dijadikan pedoman oleh BAZNAS adalah senilai harga 524 kg beras, dengan dalil diqiyaskan kepada nisab pertanian sebesar 652kg gabah. Sedangkan pengeluaran zakatnya diqiyaskan dengan emas dan perak sebesar 2,5%. Ya
Zakat yang harus dikeluarkan
= wi'a' x 2.5%
= 24.000.000 x 2.5% 600.000
Zakat atas penghasilan atau zakat profesi adalah istilah yang muncul dewasa ini. Adapun istilah Ulama salaf bagi zakat atas penghasilan atau profesi biasanya di sebut dengan “Almalul mustafad”. Yang termasuk dalam kategori zakat mustafad adalah, pendapatan yang dihasilkan dari profesi non zakat yang dijalani, seperti gaji pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, dan lain-lain, atau rezeki yang di hasilkan secara tidak terduga seperti undian, kuis berhadiah (yang tidak mengandung unsur judi), dan lain-lain.

Mayoritas Ulama’ tidak mewajibkan zakat atas hasil yang didapat dengan cara di atas. Namun ulama’ kontemporer seperti D.R.Yusuf Qordlowi berpendapat wajib di keluarkan zakatnya, hal demikian merujuk pada salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Madzhab Hanbali) dan beberapa riwayat yang menjelaskan hal tersebut.[1]

Diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud, Mu’awiyyah, Awza’i dan Umar bin Abdul Aziz yang menjelaskan bahwa beliau mengambil zakat dari ‘athoyat (gaji rutin), jawaiz (hadiah) dan almadholim (barang ghosob/curian yang di kembalikan). Abu Ubaid meriwayatkan, “Adalah Umar bin Abdul Aziz, memberi upah pada pekerjanya dan mengambil zakatnya, dan apabila mengembalikan almadholim (barang ghosob/curiang yang di kembalikan) diambil zakatnya, dan beliau juga mengambil zakat dari ‘athoyat (gaji rutin) yang di berikan kepada yang menerimanya.

Atas dalil-dalil tersebut di atas dengan merujuk pada Madzhab Hanbali, beberapa ulama kontemporer berpendapat adanya zakat atas upah atau hadiah yang di peroleh seseorang. Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya atau hadiah yang didapat menjadi kaya, maka ia wajib zakat atas kekayaan tersebut. Akan tetapi jika hasil yang di dapat hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, atau lebih sedikit, maka baginya tidak wajib zakat, bahkan apabila hasilnya tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya maka ia tergolong mustahiq zakat.[2]



Nishob dan kadar zakat mustafad

Ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nishob dan kadar zakat profesi, yang di kemukakan oleh beberapa Ulama kontemporer, berikut masing-masing pendapat tersebur :

Menganalogikan (men-qiyas-kan) secara mutlak dengan hasil pertanian, baik nishob maupun kadar zakatnya. Dengan demikian nishobnya adalah setara dengan nishob hasil pertanian yaitu 652,5 kg beras (hasil konversi D.R.Wahbah Azzuhaili), kadar yang harus di keluarkan 5% dan harus dikeluarkan setiap menerima.
Menganalogikan nishobnya dengan zakat hasil pertanian, sedangkan kadar zakatnya dianalogkan dengan emas yakni 2,5%. Hal tersebut berdasarkan atas qiyas atas kemiripan (qiyas syabah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni :
Model memperoleh harta tersebut mirip dengan panen hasil pertanian. Dengan demikian maka dapat di qiyaskan dengan zakat pertanian dalam hal nishobnya.
Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan adalah berupa mata uang. Oleh sebab itu, bentuk harta ini dapat diqiyaskan dengan zakat emas dan perak (naqd) dalam hal kadar zakat yang harus di keluarkan yaitu 2,5%.

Adapun pola penghitungan nishobnya adalah dengan mengakumulasikan pendapatan perbulan pada akhir tahun, atau di tunaikan setiap menerima, apabila telah mencapai nishob

Mengkategorikan dalam zakat emas atau perak dengan nengacu pada pendapat yang menyamakan mata uang masa kini dengan emas atau perak (lihat penjelasan zakat uang). Dengan demikian nishobnya adalah setara dengan nishob emas atau perak sebagaimana penjelasan terdahulu, dan kadar yang harus dikeluarkan adalah 2,5%. Sedangkan waktu penunaian zakatnya adalah segera setelah menerima (tidak menuggu haul).

Pendapat ketiga inilah yang saya ambil sebagai pegangan, karena sesuai dengan yang tercantum didalam kitab Madzhab Hanbali yang menjadi acuan atas diwajibkannya zakat profesi dan pendapatan tak terduga tanpa harus menganalogkan (men-qiyas-kan) secara paksa dengan zakat-zakat yang lain dengan mempertimbangkan kemampuan menganalogkan (men-qiyas-kan) permasalahan, sehingga menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan hukum.



Zakat mustafad dari hasil hadiah undian atau kuis

Apabila harta yang diperoleh dari hasil undian atau kuis baik dalam bentuk uang atau barang sudah setara dengan nishob perak maka zakat yang di keluarkan adalah 2,5%, sebagaimana zakat emas dan perak, dan di tunaikan segera setelah diterima.

Hadiah berupa uang tunai yang pajakanya ditanggung oleh penerima, zakatnya dihitung setelah dipotong pajak (after tax), hal demikian disebabkan pada umumnya apabila pajak hadiah ditanggung oleh penerima , maka hadiah yang diterima sudah dipotong pajak, sehingga kenyataan hasil yang diterima adalah sejumlah yang sudah terpotong pajak. Sedangkan hadiah yang pajaknya tidak ditanggung oleh penerima atau hadiah berupa barang, baik pajaknya ditanggung oleh penerima atau tidak, maka zakatnya dihitung sebelum pajak (before tax) karena kewajiban pajak tidak berpengaruh atas penghitungan zakat dari hasil yang diterima.



Contoh 1:

Bapak Sulaiman memperoleh hadiah sebesar Rp 100.000.000. pajak hadiah ditanggung pemenang. Cara menghitung zakatnya adalah :

Hadiah Rp 100.000.000.

Pajak 20% x 100.000.000. Rp 20.000.000.

Total yang diterima Rp 80.000.000.

Maka zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% x Rp 80.000.000 = 2.000.000.

Nishob setara dengan 543,35gr perak, asumsi harga perak @ Rp 5000. = 543,35 x 5000 = Rp 2.716.750.



Contoh 2:

Bapak Samsul memperoleh hadiah mobil senilai 200.000.000.pajak hadiah ditanggung atau tidak di tanggung pemenang. Cara menghiting zakatnya adalah:

Nilai hadiah Rp 200.000.000.

Pajak 20% x 200.000.000. Rp 40.000.000.

Maka zakat yang dikeluarkan adalah : 2,5% x 200.000.000 = 5.000.000. (pajak hadiah tidak mengurangi nilai zakat yang dihitung).

[1] Al-Mughni libni Qodamah hal:497/2

[2] Roddul mukhtar hal:179/3

ZAKAT PROFESI
Di dalam Islam, pada harta yang dimiliki seseorang terdapat hak Allah di sana. Hak ini dikenal dengan istilah zakat yang diperuntukkan bagi delapan golongan sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60.
Ya, zakat sejatinya bukan merupakan hak mustahik tetapi merupakan hak Allah sehingga menjadi kewajiban mutlak bagi manusia yang telah melampaui batas minimal kekayaan wajib zakat (*nisab*) untuk menunaikannya. Seseorang yang tidak menunaikan kewajiban zakat berarti tidak menunaikan hak Allah sehingga Allah SWT berhak memberi mereka balasan. Tidak pernah ada dalam sejarah Islam fakir miskin menyerang orang kaya demi memperoleh bagian dan zakat.

Di lihat dari dimensinya, ibadah zakat merupakan ibadah yang sangat unik. Selain berdimensi vertical, yakni bentuk pengabdian kepada Allah (*hablun minalLah*), zakat juga memiliki dimensi horizontal (*hablun minannas*) untuk meringankan beban kaum dhuafa. Pada masa keemasannya, zakat pernah mengangkat kemuliaan kaum muslimin dengan mengentaskan kemiskinan seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz di mana tidak ditemukan seorang pun yang mau menerima zakat.

Wacana yang tengah hangat dalam dunia zakat selama beberapa decade terakhir ini adalah diperkenalkannya instrument *zakat profesi* di samping *zakat fitrah* dan *zakat maal* (zakat harta). Sebagian kecil masyarakat masih mempertanyakan legalitas zakat profesi tersebut. Mereka yang menentang penerapan syariat zakat profesi ini beranggapan bahwa zakat profesi tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam syariat Islam dan merupakan hal baru yang diada-adakan. Sedangkan mayoritas ulama kontemporer telah sepakat akan legalitas zakat profesi tersebut. Bahkan, zakat profesi telah ditetapkan berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan Keputusan Nomor 3 tahun 2003.

Setiap penghasilan, apapun jenis pekerjaan yang menyebabkan timbulnya penghasilan tersebut diharuskan membayar zakat bila telah mencapai nisab. Pekerjaan apa saja? Bisa Dokter, Pegawai Negeri Sipil, Akuntan, konsultan, artis, entrepreneur dan sebagainya. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah swt:"Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu." (QS Al Baqarah:267).

Selain ayat di atas, masih banyak ayat-ayat di dalam Al Qur'an dan hadits yang bisa dijadikan sebagai dalil yang memperkuat legalitas zakat profesi. Bahkan di dalam bukunya, *Fiqhu Zakah *(yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Fikih Zakat) Dr. Yusuf Qardawi mengemukakan bahwa penerapan zakat profesi telah sejak lama berlangsung dalam pemerintahan Islam sebagaimana pernah terjadi pada masa Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Muawiyah, serta Umar bin Abdul Aziz yang memberlakukan pemotongan gaji para pegawai pemerintahan.

Ditinjau dari sisi lain, zakat profesi sangat sesuai dengan prinsip keadilan Islam. Coba bayangkan, sungguh tidak adil bilamana seorang petani yang bekerja sangat keras untuk mewujudkan hasil pertaniannya, setiap panen tiba harus mengeluarkan zakat pertanian sebesar 5 hingga 10 % sementara kaum professional yang memiliki penghasilan lebih besar dari petani tersebut tidak dikenai zakat.

Dari aspek social, zakat profesi sejatinya sangat berperan bagi perwujudan keadilan sosial. Menurut Ahmad Gozali, Perencana Keuangan Safir Senduk dan Rekan, di dalam majalah Sharing zakat adalah investasi social. Selain pahalanya disebutkan secara tegas di dalam Al Qur'an bahwa setiap harta yang kita keluarkan akan mendapat balasan sebesar 700 kali lipat, entah dengan harta yang sama maupun dalam bentuk yang berbeda yang tidak kita sadari, dengan berzakat kita telah berperan secara aktif dalam memerangi kemiskinan. Keuntungan lain bagi orang yang berzakat, sejalan dengan menurunnya tingkat kemiskinan tingkat kriminalitas juga semakin menurun sehingga lingkungan kerja dan usaha semakin kondusif.

Bagaimana ketentuan tentang zakat profesi? Baiklah penulis sampaikan secara ringkas. Di dalam zakat profesi ada sedikitnya dua permasalahan yang disikapi berbeda menurut pandangan beberapa ulama.

Pertama: penentuan nisab dan kadar zakat profesi. Mohammad Taufik Ridho di dalam bukunya Zakat Profesi dan Perusahaan yang diterbitkan oleh Institut Manajemen Zakat bekerja sama dengan BAMUIS BNI mengemukakan bahwa ada 4 pendapat dalam mengqiyaskan hukum untuk menentukan *nisab* dan tarif zakat profesi sebagaimana table berikut.

Nisab
Kedua: cara menghitung zakat profesi apakah dari penghasilan netto atau bruto. Untuk cara yang pertama, untuk menentukan besarnya zakat profesi yang dikeluarkan pemilik harta terlebih dahulu mengurangi penghasilan yang mereka terima dengan kebutuhan pokok minimum pemilik harta tersebut. Ada beberapa versi dalam menentukan standar hidup minimal. Sekedar contoh, menurut Bank Dunia standar hidup minimal adalah $2 per jiwa perhari. Jika menggunakancara yang kedua, begitu menerima penghasilan pemilik harta tersebut segera menentukan zakatnya tanpa menguranginya dengan kebutuhan pokok minimum.

Mengacu pada dua permasalahan di atas, jika seseorang professional muda (belum menikah) memiliki total penghasilan Rp. 10.000.000,- per bulan dengan metode penghitungan pertama yakni penghasilan netto dengan asumsi kebutuhan pokok minimum professional muda tersebut adalah Rp. 2.500.000 per bulan, maka zakat yang harus dikeluarkan ditunjukkan sebagaimana tabel berikut:


1.

Penghasilan netto = (Rp. 10.000.000 – Rp. 2.500.000) = Rp. 7.500.000,-

(wajib zakat karena telah melampaui nisab baik zakat pertanian maupun zakat emas (uang)

Zakat Profesi = Rp. 7.500.00 x 2,5 % = *Rp. 375.000,00*

dengan cara yang sama, zakat profesi untuk kategori (B) = Rp. 187.500,00,
(C) = Rp. 187.500,00 dan (D) = Rp. 187.500,00
Keberagaman pendapat dalam menentukan zakat profesi yang dikemukakan oleh kalangan ulama identik dengan selalu adanya pilihan alternative, keringanan dan kemudahan dalam membayar zakat. Di tambah dengan berbagai fasilitas yang disediakan oleh Lembaga Pengelola Zakat baik BAZ maupun LAZ, membayar zakat menjadi mudah, praktis dan menyenangkan. Itulah kenapa BAZNAS-DD, pada Ramadhan tahun lalu pernah mengusung tema "Ternyata Zakat Ringan". Dua setengah persen terlalu kecil nilainya untuk adzab Allah yang sangat pedih sebagai ancaman bagi orang yang enggan menunaikan kewajiban zakat. Sementara dua setengah persen sangat besar manfaatnya untuk meringankan beban derita kaum dhuafa yang tak kunjung reda.

ZAKAT DAN PENDIDIKAN

Negara kaya raya yang laksana zamrud di katulistiwa dengan perairan luas yang konon bukan lautan tapi merupakan kolam susu dengan tanah yang mahasubur hingga tongkat dan batu jadi tanaman ini telah berusia enam puluh dua tahun dengan enam kali ganti pimpinan. Setengah lebih usianya, yakni selama 32 tahun pernah digawangi oleh sebuah keluarga besar, Keluraga Cendana. Suatu kali, pernah dipimpin bapak dan anak seperti sebuah dinasti. Lalu pada kesempatan lain pernah juga dipimpin oleh ilmuwan jenius alang kepalang, dan pada kali lainnya pernah dipimpin oleh seorang kiai. Beda orang dan kepribadian, beda pula gaya kepemimpinan dan kebijakkannya. Namun dari pengalaman dipimpin oleh bermacam-macam tipe pimpinan, tetap saja menyisakan sebuah titik persamaan realita kehidupan bangsa Indonesia: Anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang merupakan amanah Undang-Undang Dasar 1945 belum juga terwujud.

Zakat untuk Pendidikan

Pendidikan adalah investasi masa depan untuk melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan suatu bangsa di segala aspek kehidupan seperti pertumbuhan dan perkembangan perekonomian berbanding lurus dengan kualitas pendidikan bangsa tersebut. konon, menurut para pakar (jangan tanya pakar yang mana) makin banyak Doktor di suatu negara, mungkin istilahnya Doctor per Kapita—tentu gelar Doktor beneran, bukan gelar yang dijual—makin cepat kemajuan tersebut tercapai.

Terobosan beberapa lembaga filantropi Islam—Lembaga Pengelola Zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ)—seperti yang dilakukan BAZNAS-Dompet Dhuafa bisa dibilang sebagai kepedulian dan kesadaran masyarakat agamis terhadap nasib dunia pendidikan di Indonesia. Pada bulan Agustus 2007, bertepatan dengan moment kemerdekaan BAZNAS-Dompet Dhuafa menggulirkan sebuah program peduli pendidikan dengan tema “Merdeka adalah bebas dari Kebodohan. Bantu anak Indonesia tetap sekolah”. Program ini bertujuan memberikan bantuan biaya pendidikan yang bersumber dari dana zakat. BAZNAS-Dompet Dhuafa juga telah memiliki sebuah sekolah khusus untuk kaum tak berpunya, SMART Ekselensia Indonesia yang berlokasi di Parung Bogor serta memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang belajar di Perguruan Tinggi Negeri yang dikenal dengan Program Beastudi Etos.

Zakat untuk pendidikan sebetulnya telah lama berjalan di masyarakat terlebih dengan munculnya beberapa lembaga pengelola zakat yang kreatif, amanah dan professional di Indonesia. Hampir seluruh BAZ dan LAZ di Indonesia termasuk BAZIS DKI yang telah eksis sejak tahun 1960an memiliki program peduli pendidikan dengan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada siswa-siswa yang berasal dari kalangan tidak mampu dari pendidikan dasar hingga jenjang perguruan tinggi.

Peran serta zakat yang murni bersumber dari kalangan grass root untuk membaiyai pendidikan sangat mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indoensia. Pengalokasian dana zakat pada sektor pendidikan oleh lembaga pengelola zakat meski masih memiliki prosentase lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi untuk pemberdayaan ekonomi berupa pemberian modal, sangat membantu masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan. Kemampuan mengakses lembaga pendidikan oleh kaum dhuafa inilah yang oleh BAZNAS-Dompet Dhuafa dimaknai sebagai sebuah kemerdekaan. Alih-alih menunggu—tanpa kepastian—anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan dari pemerintah, masyarakat—dalam hal ini diwakili oleh lembaga pengelola zakat—telah bisa menjawab ketidakpastian tersebut.


Butuh Dukungan

Maraknya pertumbuhan lembaga pengelola zakat serta semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat merupakan sebuah kabar gembira tak terkecuali bagi dunia pendidikan. Dengan semakin banyaknya perolehan dana zakat oleh lembaga pengelola zakat, semakin tinggi pula dana yang bisa dialokasikan untuk sektor tersebut.

Fenomena di atas—keprihatinan sekaligus kepedulian masyarakat terhadap pendidikan—haruslah disikapi dengan tangan terbuka dan kooperatif oleh pemerintah. Sikap ini berupa upaya timbal balik pemerintah yang diwujudkan dengan keseriusan pemerintah dalam memerhatikan perzakatan di Indonesia. Dalam hal institusi, itikad baik pemerintah memang telah ditunjukkan dengan menyatunya raksasa lembaga pengelola zakat pemerintah (BAZNAS) dengan raksasa lembaga pengelola zakat swasta (Dompet Dhuafa) hampir setahun yang lalu. Tapi dalam tataran payung hukum, yakni Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di Indonesia belum memberikan perubahan yang signifikan dalam menaikkan jumlah wajib zakat: alih-alih memberi tekanan kepada muzaki, UU tersebut justru memberi pengawasan ketat kepada Lembaga Pengelola Zakat, satu-satunya ujung tombak penggiat zakat.

Dengan memfasilitasi warga negara yang beragama Islam dalam menunaikan zakat, pemerintah tak hanya memberi kebebasan kepada warga negara dalam menjalankan agama dan kepercayaan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2), namun secara langsung pemerintah telah mempercepat cita-cita bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam preambule. Dalam bahasa yang mudah dipahami, masalah zakat bukan lagi melulu masalah umat Islam tetapi telah menjadi masalah bersama bangsa Indonesia. Peran pemerintah dan masyarakat secara simultan merupakan akselerasi bagi perwujudan amanah para pendiri bangsa, anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Sudahkah kita merdeka saat ini? Saya yakin Anda punya jawabannya sendiri.
Pembagian Zakat Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka wajib bagi para Muslim untuk berpegang teguh pada aturan yang telah dijelaskan dalam ayat al-Qur'ân di atas ketika membayarkan zakat, jika tidak, maka belum dianggap sah zakat yang dikeluarkannya. Berikut ini akan kami sampaikan kaidah-kaidah/aturan-aturan yang harus diikuti dalam pembayaran zakat. Pada edisi-edisi sebelumnya kita telah membicarakan tata cara penghitungan zakat untuk berbagai jenis kekayaan. Penghitungan tersebut merupakan langkah awal mengeluarkan zakat yang harus dibayarkan kepada penerima sah zakat. Syariat Islam memberikan beberapa ketentuan berkenaan dengan penerima zakat tersebut. Hal ini bisa diketahui bahwa Allâh swt sendiri dengan kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya telah menentukan siapa penerima zakat. Allah berfirman, "Sesungguhnya sedekah-sedekah itu untuk para fakir, miskin, pengelola sedekah, orang yang hatinya ditaklukkan (muallaf), budak, orang yang terbelit hutang, bakti di jalan Allâh, dan musafir; sebagai ketetapan dari Allâh. Dan Allâh Maha mengetahui lagi Maha bijaksana". Pembagian ini tidak dibenarkan untuk ditentukan manusia, sebagaimana sabda Rasul saw, "Sesungguhnya Allâh tidak rela dengan keputusan nabi, juga orang lain dalam masalah sedekah sampai diputuskan bahwa ia untuk golongan penerimanya, yaitu delapan golongan". Berdasarkan penjelasan tersebut, maka wajib bagi para Muslim untuk berpegang teguh pada aturan yang telah dijelaskan dalam ayat al-Qur'ân di atas ketika membayarkan zakat, jika tidak, maka belum dianggap sah zakat yang dikeluarkannya. Berikut ini akan kami sampaikan kaidah-kaidah/aturan-aturan yang harus diikuti dalam pembayaran zakat: a. Kewajiban berpegang teguh kepada delapan golongan penerima zakat sebagaimana tersebut di dalam ayat al-Qur'ân dan sesuai dengan makna yang dikandungnya. b. Menyerahkan zakat untuk dimiliki golongan-golongan yang disebutkan dalam ayat al-Qur'ân-yang diredaksikan dengan huruf jar lam, yang berarti kepemilikan. Mereka adalah fakir, miskin, pengelola zakat, orang yang hatinya ditaklukkan Muallaf. Tamlîk, pemilikan berarti memberikan hak yang ada pada harta zakat agar bisa digunakan sebebas-bebasnya oleh golongan ini, tidak diberikan dalam bentuk pembelian barang, semisal pakaian atau makanan, atau lainnya. c. Pembayaran zakat untuk tujuan yang ditentukan oleh ayat al-Qur'ân-yang diredaksikan dengan huruf jar fî. Mereka adalah hamba sahaya, orang yang terbelit hutang, bakti di jalan Allâh, dan musafir. Dengan demikian zakat tidak diberikan ke tangan individu-individu tertentu secara langsung, melainkan digunakan untuk tujuan yang ditentukan atasnya. d. Para fakir dan miskin yang berhak menerima zakat adalah mereka yang tidak memiliki kekayaan mencapai nisab atau kadar senilai harga 85 gr emas, dengan harga yang berlaku saat itu. Jika satu gram emas murni seharga US$. 13,- maka nisab kekayaannya setahun adalah US$. 1.105,- (US$. 13,- x 85 gr). Jadi, barangsiapa yang pendapatan pertahunnya mencapai jumlah tersebut, atau pendapatannya per bulan mencapai US$. 92,- atau lebih, maka ia telah terkena wajib zakat. Jika kurang, maka tidak terkena wajib zakat. e. Mengukur kefakiran atau kemiskinan seseorang harus dilakukan, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemberian zakat kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Di antara cara yang diajarkan oleh Rasulullah saw : seseorang yang ditimpa kefakiran sampai tiga orang lain mengatakannya bahwa si fulan dalam keadaan fakir. f. Zakat tidak diberikan kepada orang kaya, juga tidak kepada orang yang mampu bekerja berdasarkan sabda Rasul, "Sedekah tak dihalalkan bagi orang kaya juga bagi orang yang memiliki kekuatan dan sehat jasmaninya". Termasuk kemampuan bekerja adalah adanya kesempatan bekerja baginya, orang yang terpaksa menganggur yang telah mencari berbagai pekerjaan dan tak mendapatkannya, maka tergolong fakir yang berhak menerima zakat. g. Golongan pengelola zakat/sedekah: ketika negara menangani pemungutan dan pembagian zakat dengan mendirikan badan administrasi untuk mengelola zakat tersebut. Jika seorang Muslim mengeluarkan/membayarkan zakatnya sendiri maka kelompok pengelola zakat ini tidak termasuk dalam hitungan. Begitu pula lembaga sosial yang menampung zakat dari kaum muslimin, maka, anggota lembaga tersebut tidak berhak mendapatkan bagian pengelola zakat/sedekah, karena apa yang mereka lakukan pada mulanya didasarkan niat suka-rela.



*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar